PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS TEKS
DENGAN PENDEKATAN SAINTIFIK DAN UPAYA
MEMBANGUN BUDAYA LITERASI[1]
Oleh
Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd.[2]
Universitas Sebelas Maret
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni serta tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global, akuntabilitas publik terhadap kualitas pendidikan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan perlu dilakukan. Pendidikan diharapkan memiliki kesiapan dalam memberikan respon yang positif terhadap berbagai tuntutan kebutuhan masyarakat. Untuk itulah, kualitas praktik dan hasil pendidikan perlu secara terus-menerus ditingkatkan.
Upaya mewujudkan pendidikan yang berkualitas bertalian erat dengan kurikulum. Kurikulum memiliki peran yang sangat strategis dan menentukan dalam pelaksanaan pendidikan karena di dalamnya terumuskan tujuan yang hendak dicapai, materi pembelajaran, cara yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran, dan tentu penilaian untuk mengetahui ketercapaian tujuan. Dalam Kurikulum 2013 pun tentu berisi unsur-unsur penting-penting itu karena sejatinya “curriculum is an educational program which states (1) the educational purpose of the program, (2) the content, (3) teaching procedures and learning experiences which will be necessary to achieve the purpose, and (4) some means of assessing whether or not the educational ends have been achieved (Richards, 2001). Demikian juga yang ditegaskan dalam Undang-Undang Sisdiknas bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (UU NO. 20 Tahun 2003), termasuk bidang Bahasa dan Sastra Indonesia, baik sebagai mata pelajaran wajib maupun sebagai peminatan.
Rumusan tujuan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di berbagai kurikulum yang pernah berlaku di Indonesia bisa jadi berbeda-beda. Namun demikian, jika kita telah mampu menempatkan dan memerankan diri sebagai guru profesional, kita segera menyadari bahwa secara esensial sesungguhnya tujuan utama pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia adalah peserta didik memiliki keterampilan berbahasa atau yang lazim disebut memiliki kemahiran berbahasa, kecakapan berbahasa, atau kompetensi berbahasa, yang mencakup empat aspek keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis).
Sementara itu, dalam pembelajaran sastra, menurut Sayuti (2013), tujuan utamanya berorientasi pada literary knowledge dan literary appreciation. Orientasi itu dapat diturunkan menjadi knowing, doing, dan being sastra; apresiasi, ekspresi, dan produksi sastra; atau dalam (istilah bahasa Jawa) nga-3: ngerti, nglakoni, dan ngrasakke sastra.
Dalam hal kompetensi yang menjadi orientasi pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran, sebenarnya esensinya sama. Pada Kurikulum 2004 dan KTSP kita mengenal Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar; sedangkan pada Kurikulum 2013 digunakan istilah Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar. Perubahan pada kerangka kerja penyusunan Kurikulum 2013 adalah terkait tata kelola pada satuan pendidikan dan peran guru. Jika pada KTSP, satuan pendidikan dan guru diberikan kewenangan menyusun silabus, pada Kurikulum 2013 beban tersebut ditanggung oleh pemerintah (Suwandi, 2013a). Dalih yang dikemukakan, pada KTSP para guru harus menyusun silabus sehingga beban guru menjadi berat dan keefektifan belajar kurang. Dengan pengurangan beban tersebut, efektivitas pembelajaran diharapkan meningkat.
Berkenaan dengan pembelajaran bahasa Indonesia, Kurikulum 2013 menekankan pada pelaksanaan pembelajaran berbasis teks. Siswa dituntut mempelajari berbagai jenis teks secara eksplisit, memahami struktur dan fitur kebahasaannya, dan mampu memproduksi teks. Pembelajaran berbasis teks ini dipandang penting mengingat budaya membaca dan menulis peserta didik dan bahkan masyarakat Indonesia tergolong rendah. Budaya lisan begitu dominan dalam kehidupan masyarakat kita. Tradisi kelisanan begitu mendarah mendaging di hampir setiap stratifikasi sosial. Kiranya tidak sulit menyajikan dan menderetkan contoh fenomena yang menggambarkan betapa anak-anak dan juga masyarakat kita merasa asing dengan buku. Anak-anak kita sering lebih asyik menghabiskan waktu mereka untuk ber-sms, bercengkerama dan bersendau-gurau dengan telpon, main game, dan aktivitas sejenis lainnya. Mereka lebih hafal artis-artis sinetron dan penyanyi di televisi daripada nama penulis buku. Mereka lebih fasih bercerita tentang alur serta karakter tokoh sinetron yang ditonton daripada bercerita tentang alur dan karakter tokoh dari sebuah novel.
Ditegaskan pula bahwa pembelajaran hendaknya menggunakan pendekatan ilmiah atau pendekatan saintifik (pendekatan ilmiah). Proses pembelajaran dapat dipadankan dengan suatu proses ilmiah. Pendekatan ini diyakini sebagai titian emas perkembangan dan pengembangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didik.
Pembelajaran yang berbasis pada teks dan penggunaan pendekatan saintifik tersebut diyakini akan mampu mengembangkan budaya literasi. Untuk itu, uraian berikut akan menjelaskan ihwal pembelajaran berbasis teks dan penerapan pendekatan saintifik serta upaya mengembangkan budaya literasi.